Etika Guru dan Murid (2)

Pada postingan sebelumnya telah dipaparkan beberapa etika guru dan murid yaitu tugas pertama hingga tugas ketiga. pada kesempatan ini akan dipaparkan etika guru dan murid dari tugas keempat hingga tugas ke tujuh.
          Tugas Keempat: Menjaga diri mendengarkan dan berpartisipasi dalam perselisihan yang terjadi di masyarakat, karena akan menimbulkan keterkejutan yang membingungkan. Sebab jika hal  ini
dilakukan, maka yang pertama kali terjadi adalah hati akan berpaling dan terpengaruh oleh segala hal yang ditemuinya, terutama jika yang ditemui itu adalah cara-cara rusak yang dapat menyebabkan kemalasan. Oleh karena itu, bagi penuntut ilmu pemula tidak diperbolehkan mengikuti kebiasaan-kebiasaan penuntut ilmu yang telah mencapai tahap akhir, hingga sebagian mereka (penuntut ilmu tahap akhir) berkata, "Barang siapa yang mengikuti perjalanan kami dari awal, maka ia akan menjadi orang yang benar. Dan barang siapa yang mengikuti kami hanya di akhir perjalanan, maka ia akan menjadi zindiq (orang kafir yang berpura-pura sebagai muslim)." Sebab di akhir perjalanannya, anggota tubuh mereka tidak lagi bergerak kecuali untuk mengerjakan ibadah fardhu dan mereka mengganti ibadah sunnah dengan gerakan hati dan kesaksian yang langgeng. Namun orang yang lalai menganggapnya sebagai suatu bentuk pengangguran dan kemalasan, "Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan." (Q.S. an-Naml [270:8)
        Tugas kelima:  Tidak menyisakan satu pun cabang ilmu yang baik untuk dipelajari hingga mengetahui maksudnya. Bila cukup waktu, maka ia akan memperoleh semuanya. Namun jika tidak, maka ia harus memilih bagian ilmu yang terpenting. Dan memilih bagian yang terpenting hanya mungkin dilakukan setelah mengetahui seluruh cabang ilmu secara umum.
          Tugas keenam: Memprioritaskan ilmu-ilmu terpenting, yaitu ilmu akhirat. Jika diibaratkan, ilmu itu dibagi menjadi dua; ilmu mu'amalat dan mukasyafat (ilmu yang dapat menyingkap hati untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt). Ilmu mu'amalat dapat mengantarkan manusia kepada mukasyafat. Semenatar ilmu mukasyafat sendiri adalah ma'rifatullah (mengenal Allah Swt secara dekat). Ilmu mukasyafat ini adalah cahaya yang dipancarkan Allah Swt ke dalam hati seorang hamba, yang disucikan dengan ibadah dan mujahadah (sungguh-sungguh dalam beribadah). Seperti itulah tingkat keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a yang jika dibandingkan dengan tingkat keberimanan pendudukan dunia, maka akan lebih berat timbangan keimanan beliau. Jelasna, ilmu adalah yang melekat dalam hati, bukan dikarenakan banyaknya petunjuk dan hujah.
          Namun yang mengherankan, orang yang mendengar perkataan seperti ini (sebagai hadits) dari Rasulullah Saw, justru melecehkan ungkapan-ungkapan yang dilontarkan kaum sufi dengan menganggapnya  sebagai kebohongan kaum sufi. Jadi, berhati-hatilah mengenai hal ini, karena jika hal ini dilakukan maka hilanglah pondasi utama.
          Berusahalah mengetahui rahasia ilmu yang bersumber dari pengetahuan yang dimiliki para fuqaha dan mutakallimin. Engkau tidak akan mengetahui rahasil tersebut kecuali dengan kesungguhanmu dalam menuntut ilmu. Ketahuilah, bahwa ilmu yang paling mulia dan paling tinggi adalah ilmu mengetahui Allah Swt (ma'rifatullah). Ilmu ini laksana lautan yang dasarnya tidak terjangkau. Tingkatan manusia yang tertinggi dalam meraih ilmu ini adalah para nabi, kemudian para auliya, lalu orang-orang setelahnya.
          Dikisahkan bahwa ada dua orang bijak yang ahli ibadah dalam suatu mesjid. Salah seorang di antaranya menggenggam selembar kain yang bertuliskan, "Jika engkau telah melakukan segala hal dengan baik, maka janganlah engkau mengira bahwa engkau telah berbuat baik dalam satu hal hingga engkau mengenal Allah Swt. Ketahuilah bahwasanya Dialah yang menjadi penyebab pertama segala sebab dan Pencipta segala sesuatu." Sementara yang lainnya menggenggam selembar kain bertuliskan, "Dulu sebelum mengenal Allah Swt, aku minum dan kenyang. Ketika mengenal-Nya, aku pun merasa puas tanpa harus minum."
          Tugas ketujuh: Saat menuntut ilmu, niat seorang murid haruslah menyemangati batinnya agar sampai kepada Allah Swt dan dapat berada di sisi orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam menuntut ilmu, tidak boleh diniatkan untuk memperoleh kekuasaan, harta benda dan kedudukan, seperti halnya tugas seorang guru yang berada dala situasi terbaik jika masuk dalam ruang lingkup ungkapan berikut ini, "Orang yang mengetahui adalah orang yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya." Orang seperti inilah yang didoakan oleh para penduduk langit (para malaikat). Janganlah menjadi seperti sebatang jarum yang berfungsi untuk menjahit pakaian (untuk menutupi badan) tapi ia sendiri nampak telanjang. Atau seperti sumbu lampu yang berfungsi menyinari sekitarnya, tetapi ia sendiri terbakar.

sumber; Ringkasan Ihya' 'Ulumuddin: 48-51

No comments:

Post a Comment